Sunan Drajat Nama kecilnya adalah Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara
dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat
yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat
mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik,
melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau
Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1
kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini
bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah,
Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya
lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian
yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah
suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri
makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang”. Sunan Drajat juga
dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya,
ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Kisah Perjalanan Hidup Sunan Drajat
Alkisah, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Alkisah, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim
dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya
terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat
Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia
ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu,
Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai
Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar
1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah
Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah
diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa
tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan
Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah
surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil
dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya
berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan,
sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas
dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai
dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum
strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan
Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah
perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk
sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak
makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk
pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan
Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama
para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat
mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi
kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh
di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah
menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di
Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum
tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu
yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan
kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan
dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling
menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana
catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan
yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui
konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam
menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian
secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan
pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian
tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan
gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat
tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat
adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang
kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan.
Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang
kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada
yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan
masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari.
Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon,
merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga
berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan
salat magrib.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa
salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit,
dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para
wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di
kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam
suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta
pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia
berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang
kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut
menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di
Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden
Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi
pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi
Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden
Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal,
Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa,
bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”. Dalam Babad
Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di
Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau
Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini
menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak
di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar
yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat
mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai
tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran
Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi
Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah
dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini
agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat
datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga
babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….”
Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik
sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah?
Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa
Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam
beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali
Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.
Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak.
Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak
nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud,
Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh,
Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias
Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti
Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden
Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan
Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung
halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya,
Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini
merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan.
Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di
daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan
pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang --ada juga
yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah
tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh,
persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut
baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga
terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di
Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden
Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji
ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang
menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang
tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak,
ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat
itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya,
masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan
lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka
lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu
dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan
itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun,
berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan
rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru,
seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan
selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan
mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang
menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di
tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang
peninggalan Sunan Drajat --termasuk dayung perahu yang dulu pernah
menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan
kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada
para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun
perbuatan. ''Bapang den simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya.
Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain,
apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara
bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara.
Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui
penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah
dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat
tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran
agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan
wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan;
paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan
makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan
payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari
perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari
gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan
hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir,
mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
''Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,'' katanya dengan nada membujuk. Ia
selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan
tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal
dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan
Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan.
Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu
memancar air bening --yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah,
Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan
Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar,
putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon,
istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati.
Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru
mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid
Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi
''saling memuridkan''. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi
Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan
Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh
Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap
dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan
Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur
Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari
pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran
Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan
Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat
putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum.
Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk samana
anglaksanani, mangkat sakulawarga....'' Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden
Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya
ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah
kuno untuk menjawabnya.